Awal kemunculan dan perkembangan sains di dunia Islam tidak
dapat dipisahkan dari sejarah ekspansi Islam itu sendiri. Dalam tempo lebih
kurang 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw (632 M), kaum Muslim telah berhasil
menaklukkan seluruh jazirah Arabia dari selatan hingga utara. Ekspansi dakwah
yang diistilahkan ‘pembukaan negeri-negeri’ (futuh al-buldan)
itu berlangsung pesat tak terbendung. Bagai diterpa gelombang tsunami, satu
persatu, kerajaan demi kerajaan dan kota demi kota berhasil ditaklukkan. Dalam
proses interaksi tersebut, kaum Muslim pun terdorong untuk mempelajari dan
memahami tradisi intelektual negeri-negeri yang ditaklukkannya. Menjelang akhir
abad ke-9 Masehi, hampir seluruh korpus saintifik Yunani telah berhasil
diterjemahkan, meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan, dari kedokteran,
matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi dan alchemy.
Muncullah orang-orang seperti Abu Bakr al-Razi (Rhazes), Jabir ibn Hayyan
(Geber), al-Khawarizmi (Algorithm), Ibn Sina (Avicenna) dan masih banyak
sederetan nama besar lainnya.
Faktor Pemicu Kejayaan Sains
Pertama, berkat kesungguhan dalam mengimani mempraktekkan
ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah itu lahirlah
individu-individu unggul yang pada gilirannya membentuk masyarakat madani
Islami. Kedua, adanya motivasi agama. Seperti kita ketahui, kitab suci
al-Qur’an banyak berisi anjuran untuk menuntut ilmu, membaca (iqra’), melakukan observasi,
esplorasi, ekspedisi (siru fil ardhi),
dan berfikir ilmiah rasional. Faktor ketiga yaitu faktor sosial politik. Tumbuh
dan berkembangnya budaya ilmu dan tradisi ilmiah pada masa itu dimungkinkan
antara lain ―jika bukan terutama― oleh kondisi masyarakat Islam yang, meskipun
terdiri dari bermacam-macam etnis (Arab, Parsi, Koptik, Berber, Turki, dan lain
lain), dengan latarbelakang bahasa dan budaya masing-masing, namun berhasil
diikat oleh tali persaudaraan Islam serta faktor ekonomi. Kesejahteraan
masyarakat masa itu membuka kesempatan bagi setiap orang untuk mengembangkan
diri dan mencapai apa yang diinginkannya. Faktor keempat yang tak kalah
pentingnya adalah .dukungan dan perlindungan penguasa saat itu. Para saintis
semisal Ibn Sina, Ibn Tufayl dan at-Tusi berpindah dari satu tempat ke tempat
lain, mengikuti patron-nya.
PERSEPSI MUSLIM TERHADAP SAINS
Persepsi islam itu sendiri terhadap Kemajuan sains dan teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia sekaligus merupakan sarana bagi kesempurnaan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya krn Allah telah mengaruniakan anugerah keni’matan kepada manusia yg bersifat saling melengkapi yaitu anugerah agama dan keni’matan sains teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua sosok yg tidak dapat dipisahkan satu sama lain. sikap kaum Muslim terhadap sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti dan menolak mentah-mentah, ada yang menelan bulat-bulat tanpa curiga sedikitpun, dan ada yang menerima dengan penuh kewaspadaan. Sikap yang pertama maupun yang kedua kurang tepat karena sama-sama ekstrim. Sikap yang paling bijak adalah bersikap adil, pandai menghargai sesuatu dan meletakkannya pada tempatnya.
Hubungan Sains dan Spiritual
Spiritual wordview
atau religious worldview, di dalam
bentuknya yang paling murni, mengembangkan sifat moral umat manusia dengan
memahami dimensi dalam akan realitas (inner dimensions of reality), Sains, di
lain pihak membantu umat manusia untuk mengertikan beberapa aspek realitas
fisika. Jadi, demikianlah, ketika dipadukan bersama, dua sistem pengetahuan
ini, Science dan Spirituality akan menjadi komplementer satu sama lain.
Sebagai contoh, spiritualitas atau bentuk agama paling murni membimbing
masyarakat manusia dengan visi yang tepat untuk menciptakan masyarakat yang
penuh makna dan adil, sedangkan sains memberikan alat dan keterampilan untuk
mencapainya (tujuan agama tadi), demikianah cara menapaki jalan untuk mencapai
kedamaian dunia abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar